Tutup

Layanan

Situs Lainnya

Pertiba Startup & Network

Apa yang diinginkan Gen Z dalam dunia kerja?

Apa yang diinginkan Gen Z dalam dunia kerja?
Rahmad Firdaus Dosen Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomika dan Bisnis


Dalam beberapa tahun terakhir, dunia kerja mulai diwarnai oleh kehadiran generasi baru yang memiliki cara berpikir dan bekerja yang berbeda dari generasi sebelumnya. Generasi Z yang kini memasuki dunia kerja membawa perubahan besar, terutama dalam cara mereka memaknai pekerjaan, budaya kerja, serta lingkungan kerja yang dianggap ideal. Pandangan unik mereka tentang dunia kerja mendorong banyak perusahaan dan organisasi untuk beradaptasi agar mampu menarik sekaligus mempertahankan talenta muda tersebut. Generasi Z (Gen-Z) lahir 1997–2012 memasuki dunia kerja dengan ekspektasi yang berbeda dari generasi sebelumnya. Mereka tumbuh di era digital, di tengah perkembangan teknologi yang cepat, disrupsi pandemi, serta meningkatnya kesadaran akan kesehatan mental dan keseimbangan hidup. Deloitte (2025) menyebutkan bahwa Gen-Z menempatkan makna pekerjaan, fleksibilitas, pengembangan diri, serta kepemimpinan yang suportif dan inklusif sebagai faktor kunci dalam memilih dan bertahan di sebuah perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa organisasi harus menyesuaikan strategi manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) agar mampu menarik dan mempertahankan talenta muda ini.

Fleksibilitas Kerja

Generasi Z menghargai fleksibilitas, memilih antara hadir di kantor, kerja hybrid, atau

menyesuaikan jam kerja. Namun studi terbaru menunjukkan preferensi Gen Z terhadap model hybrid mereka tidak selalu menginginkan kerja 100% remote, melainkan fleksibilitas yang memungkinkan kolaborasi tatap muka sekaligus keseimbangan kehidupan pribadi. Artinya, kebijakan fleksibel yang jelas dan konsisten lebih dihargai daripada janji fleksibilitas tanpa struktur. Menurut (Siregar et al., 2021). Fleksibilitas adalah kebijakan formal yang ditetapkan oleh manajemen sumber daya atau pengaturan informal terkait dengan perusahaan. Sedangkan menurut (Hada et al., 2020) salah satu dari fleksibilitas kerja yaitu jam kerja yang fleksibel ini dapat diringkas sebagai kemampuan anggota organisasi untuk mengontrol durasi jam kerja mereka berdasarkan lokasi kerja (diluar tempat kerja) dan kemampuan untuk memenuhi jadwal kerja yang diberikan oleh organisasi. Pemberian fleksibilitas kerja mempunyai keuntungan terhadap organisasi maupun anggota organisasi. Untuk organisasi, pemberian fleksibilitas kerja dapat memikat, mendapatkan, dan mempertahankan anggota organisasi dengan kualitas yang baik di dalam organisasi mereka. Menurut Charlie O’Brien dari Breathe HR, fleksibilitas kerja bukan tanda kurangnya komitmen, tetapi solusi terhadap tantangan modern seperti waktu perjalanan dan kebutuhan pribadi karyawan. Gemma Bullivant, konsultan HR, menambahkan bahwa Gen Z lebih mengutamakan hasil dibandingkan kehadiran fisik, sehingga teknologi berperan penting dalam mendukung produktivitas mereka. Survei Jakpat (2024) juga menunjukkan bahwa 48% Gen Z di Indonesia mengutamakan pekerjaan dengan jam kerja fleksibel, sementara hanya 8% yang memilih WFO penuh. Menurut World Economic Forum, Gen Z diprediksi akan menjadi sepertiga dari total tenaga kerja pada 2030. Untuk itu, jika perusahaan tetap memberlakukan sistem kerja yang kaku, mereka bisa kehilangan pekerja muda yang sudah terbiasa dengan fleksibilitas



Komunikasi yang Baik dan Umpan Balik

Gen-Z ingin komunikasi yang jujur, langsung, dan frekuen. Mereka menghargai manajer yang memberi umpan balik berkala (coaching, mentoring) daripada monitoring dan evaluasi tahunan semata. Transparansi dalam tujuan organisasi dan harapan kerja juga membantu mereka merasa terhubung dan produktif. Gen Z menghargai komunikasi terbuka, transparan, dan umpan balik yang konsisten. Bukan karena mereka mencari pujian, tetapi karena mereka ingin memastikan apakah hasil kerja mereka sudah sesuai harapan dan mengetahui cara untuk terus berkembang. Bagi generasi ini, umpan balik yang rutin bukan sekadar alat evaluasi, melainkan kesempatan untuk belajar dan meningkatkan kemampuan diri. Sejalan dengan itu, Katherine Miller (2020) menjelaskan bahwa komunikasi organisasi adalah proses interaksi antara individu maupun kelompok dalam suatu organisasi, yang mencakup unsur penting seperti penyampaian pesan, penerimaan, serta pemahaman informasi. Sementara itu, Richard L. Daft (2018) mendefinisikan komunikasi organisasi sebagai segala bentuk tindakan yang memungkinkan terjadinya pertukaran informasi dan pemahaman di antara anggota organisasi. Ia menegaskan bahwa komunikasi berperan penting dalam menciptakan koordinasi dan kerja sama yang efektif antarindividu maupun kelompok di dalam organisasi.Menurutnya, komunikasi organisasi yang efektif dapat meningkatkan kinerja organisasi secara keseluruhan. Ryan Jenkins, pakar generasi, menekankan bahwa manajer perlu menjadikan feedback sebagai rutinitas mingguan bahkan harian agar karyawan merasa didukung dalam perkembangan kariernya. Penelitian INSEAD “What Generations X, Y and Z Want From Leadership” juga menemukan bahwa kejelasan komunikasi membantu Gen Z mengurangi stres dalam pekerjaan, sehingga mereka lebih siap mengambil peran dan tanggung jawab baru.


Lingkungan Kerja yang Suportif dan Inklusif

Nilai dan tujuan organisasi penting bagi Gen Z. Mereka lebih memilih perusahaan yang menunjukkan komitmen nyata terhadap keberagaman, kesetaraan, suportif, inklusif, dan tanggung jawab sosial bukan sekadar retorika. Tempat kerja yang menghormati identitas dan perspektif berbeda meningkatkan rasa belonging bagi Gen Z. Mereka juga menginginkan lingkungan kerja yang mendukung keberagaman dan mendengarkan pendapat/suara semua karyawan. Sehingga ekspektasi terhadap tempat kerja pun bergeser dari sekadar mencari penghasilan menjadi mencari tempat yang aman secara psikologis, mendukung pertumbuhan pribadi, dan menghargai setiap individu tanpa diskriminasi. Lingkungan kerja inklusif menjadi prioritas bagi Gen Z Hubungan antar manusia atau human relations memiliki peran yang sangat penting dalam menciptakan lingkungan kerja yang inklusif. Lingkungan seperti ini adalah tempat di mana setiap orang merasa dihargai, diterima, dan didukung tanpa melihat perbedaan latar belakang, keyakinan, atau karakter pribadi lainnya. Hubungan yang baik antar individu di dalam organisasi dapat membangun sinergi, rasa saling percaya, serta menciptakan suasana kerja yang harmonis dan produktif. Seorang pemimpin perlu memahami kebutuhan emosional dan psikologis anggota timnya (Mangkunegara, 2009). Pendekatan human relations, yang berfokus pada pengelolaan hubungan antar individu, membantu menciptakan kondisi kerja yang nyaman dan memotivasi setiap orang untuk memberikan kontribusi terbaiknya. Hubungan antar manusia dalam organisasi sebaiknya dibangun di atas dasar kepercayaan dan keterbukaan, karena kepercayaan merupakan landasan utama bagi komunikasi dan kerja sama yang efektif di tempat kerja (Sedarmayanti, 2001).


Penggunaan Teknologi yang Modern

Karena Gen Z menganggap sebagai digital native, mereka mengharapkan alat kerja modern (platform kolaborasi, akses cloud, automasi sederhana) yang mendukung produktivitas. Bagi Gen-Z, penggunaan teknologi modern di tempat kerja bukan sekadar kebutuhan, melainkan bagian dari identitas profesional mereka. Sebagai generasi yang lahir dan tumbuh di era digital, Gen Z memiliki tingkat literasi teknologi yang tinggi dan terbiasa menggunakan berbagai perangkat serta aplikasi digital dalam aktivitas sehari-hari. Oleh karena itu, mereka cenderung memilih organisasi yang mengadopsi teknologi terkini sebagai bagian dari sistem kerja dan budaya organisasinya. Lingkungan yang “ketinggalan teknologi” membuat frustrasi dan menghambat retensi. Menurut (Purba et al., 2021), revolusi industri 4.0 ditandai dengan meningkatnya digitaliasi manufaktur yang didorong oleh peningkatan konektivitas kecerdasan bisnis, sampai dengan peningkatan interaksi manusia dengan mesin. Pemakaian teknologi dalam kehidupan manusia di revolusi 4.0 dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Didalam Perusahaan dapat kita temui melalui pemakaian media digital (e-media), pemakaian mata uang (e-money) dan penggunaan mesin-mesin kantor. Untuk menggunakan teknologi para pekerja diharapkan dapat menggukan teknologi dan mereka harus memiliki kemampuan yang tidak dilakukaan oleh mesin demi mempertahankan kinerja sumber daya manusia. Menurut laporan McKinsey Global Institute (2023), perusahaan yang mampu mengintegrasikan teknologi digital dengan pendekatan pengelolaan SDM yang adaptif menunjukkan peningkatan produktivitas hingga 25% lebih tinggi dibanding organisasi konvensional. Angka ini bukan hanya soal perangkat digital, tetapi bagaimana manusia dan teknologi bisa bekerja saling melengkapi. Teknologi bukan sekadar alat kerja, tetapi faktor penting dalam menciptakan pengalaman kerja yang efisien dan menarik bagi karyawan muda.


Kompensasi yang Adil dan Transparan

Gen-Z memperhatikan gaji dan keamanan finansial mereka, menginginkan kompensasi

yang adil dan sesuai dengan ketentuan upah minimun yang diatur, struktur kenaikan yang jelas, serta benefit yang relevan (mis. kesehatan mental, tunjangan pendidikan). Mereka ingin pekerjaan yang bisa memberikan pendapatan stabil serta perlindungan seperti asuransi kesehatan dan kepastian kerja, karena keamanan finansial memberi rasa tenang. Transparansi tentang struktur gaji dan kriteria kenaikan meningkatkan kepercayaan. Kompensasi tetap menjadi faktor kunci. Menurut Enny (2019:37) kompensasi dapat didefinisikan sebagai bentuk timbal jasa yang diberikan kepada pegawai sebagai bentuk penghargaan terhadap kontribusi dan pekerjaan mereka kepada organisasi. Kompensasi tersebut dapat berupa finansial yang langsung maupun tidak langsung, serta penghargaan tersebut dapat pula bersifat tidak langsung. Sadili menjelaskan pengertian kompensasi dengan mengacu pada pendapat dua ahli, yaitu Flippo dan Dessler. Menurut Flippo, kompensasi merupakan nilai atau harga yang dibayarkan atas jasa yang diberikan seseorang untuk kepentingan individu lain atau sebuah organisasi. Sementara itu, Dessler mendefinisikan kompensasi sebagai segala bentuk pembayaran atau imbalan yang diberikan kepada karyawan sebagai hasil dari pekerjaan yang mereka lakukan. Dalam konteks organisasi atau perusahaan, kompensasi dipandang sebagai bentuk penghargaan kepada para pekerja atas kontribusi mereka dalam mencapai tujuan bersama. Dengan kata lain, upah dapat dipahami sebagai nilai atau imbalan atas jasa yang telah diberikan seseorang melalui pekerjaannya. Dalam artikel Forbes menurut Wells, 2023 menunjukkan bahwa 68% Gen Z merasa jalur kenaikan gaji dan pelatihan kepemimpinan di perusahaan masih belum jelas, sehingga transparansi dalam sistem kompensasi menjadi tuntutan utama. Di Indonesia, survei Jakpat (2024) mengungkap bahwa gaji yang kompetitif dan struktur insentif yang transparan menjadi penentu utama Gen Z dalam memilih pekerjaan, selain fleksibilitas jam kerja.


Transparansi Organisasi

Gen-Z menghargai keterbukaan bagaimana keputusan dibuat, kinerja perusahaan, serta peluang karier yang tersedia. Generasi Z ingin memahami bagaimana bisnis dijalankan, tantangan apa yang dihadapi, serta sejauh mana peran mereka berkontribusi terhadap pencapaian tujuan perusahaan. Bagi mereka, transparansi dalam komunikasi—baik terkait kebijakan, perubahan, maupun umpan balik menjadi faktor penting yang memengaruhi kepuasan dalam bekerja. Hal ini sering kali menjadi tantangan bagi organisasi dengan gaya manajemen yang masih tradisional. Kurangnya kejelasan dapat menimbulkan rasa tidak pasti dan mendorong keinginan untuk berpindah kerja. Gen Z sangat menghargai perusahaan yang terbuka mengenai visi, misi, serta proses pengambilan keputusan. Secara lebih luas, transparansi juga berarti keterbukaan informasi dalam penyelenggaraan pemerintahan sebagai bentuk komitmen untuk mewujudkan tata kelola yang baik, bersih, dan akuntabel. Keterbukaan ini memungkinkan informasi disampaikan secara jelas dan mudah dipahami, sehingga dapat digunakan untuk memantau dan mengevaluasi kinerja organisasi. Dengan adanya transparansi, masyarakat memiliki kesempatan untuk mengetahui rencana kerja serta kebijakan pemerintah dan dapat memberikan masukan atau umpan balik terhadap kebijakan tersebut (Damayanti, 2018). Manpower Group (2023) melaporkan bahwa 68% Gen Z menilai perusahaan masih perlu meningkatkan transparansi dan inklusivitas di tempat kerja.


Work–Life Balance dan Kesehatan Mental

Keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi serta perhatian organisasi terhadap kesehatan mental adalah prioritas. Banyak Gen Z yang lebih rela menukar jenjang karier tradisional demi pekerjaan yang menjaga kesejahteraan mereka. Program kesejahteraan, cuti yang wajar, dan kebijakan yang menghormati batasan waktu kerja sangat dihargai. Bagi Gen Z, pekerjaan tidak boleh mengorbankan kesehatan mental dan kehidupan pribadi. Mereka mengharapkan dengan keseimbangan ini masih bisa untuk melakukan kegiatan seperti hobby, menikmati waktu bersama keluarga dan teman, dan hiburan. Bagi Generasi Z, menjaga keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan merupakan hal yang sangat penting. Mereka menyadari betapa besar pengaruh kesehatan mental terhadap kualitas hidup dan kinerja, sehingga cenderung menjauhi lingkungan kerja yang terlalu menekan atau membuat stres. Karena itu, mereka sangat menghargai fleksibilitas dan jam kerja yang lebih manusiawi. Generasi ini tidak lagi tertarik pada budaya “kerja tanpa henti” yang dulu dianggap sebagai simbol kesuksesan, melainkan lebih memilih pola kerja yang seimbang dan berkelanjutan. Charlie O’Brien menegaskan bahwa keseimbangan kerja-hidup bukan lagi “fasilitas tambahan”, melainkan kebutuhan mendasar yang memengaruhi keputusan mereka untuk bertahan di perusahaan. Menurut Johari et al., dalam Respati (2023) menyatakan bahwa keseimbangan kehidupan kerja dapat memberikan banyak manfaat bagi organisasi karena karyawan dapat lebih termotivasi, produktif, dan tidak terlalu stres. menggunakan teori batas untuk menguji pengaruh keseimbangan kehidupan kerja terhadap kinerja, mengungkapkan bahwa keseimbangan kehidupan kerja sangat penting dalam meningkatkan kinerja karyawan. Gen Z menolak budaya kerja overwork dan mencari perusahaan yang mendukung well-being karyawan, misalnya melalui program kesehatan mental atau cuti yang fleksibel.


Kesempatan Belajar dan Berkembang

Gen Z ingin pekerjaan yang memberi kesempatan nyata untuk belajar, peningkatan jenjang Pendidikan, berkembang secara professional, pelatihan terstruktur, mentorship, rotasi tugas, serta jalur karier yang memungkinkan pengembangan keterampilan dan skill baru. Learning & development sering masuk ke tiga alasan utama mereka memilih pekerjaan, karena mereka sangat menghargai peluang untuk terus meningkatkan kapasitas profesionalnya. Wells (2023) dalam Forbes menyoroti bahwa 68% Gen Z merasa perusahaan belum maksimal dalam memberikan pelatihan kepemimpinan dan upskilling. Untuk menjawab kebutuhan ini, perusahaan dapat mengimplementasikan berbagai strategi seperti program mentorship antargenerasi untuk berbagi pengalaman dan wawasan, serta memanfaatkan teknologi pembelajaran digital dan simulasi berbasis virtual reality untuk pelatihan yang lebih interaktif dan efektif. Selain itu, pelatihan soft skills seperti komunikasi efektif dan kecerdasan emosional juga penting, mengingat Gen Z cenderung memiliki latar belakang digital-first yang kadang memerlukan peningkatan dalam interaksi tatap muka.


Pemimpin yang Suportif

Mereka menginginkan manajer atau pemimpin yang suportif, mudah diakses, memberi arahan jelas, dan mendorong otonomi. Bukan pemimpin yang hanya sekedar memberi perintah tetapi juga membimbing dan memberikan ruang berkembang. Kepemimpinan yang lebih “coaching” ketimbang kepemimpinan otoriter cocok dengan kebutuhan Gen Z untuk umpan balik dan pembelajaran cepat. Kepemimpinan yang suportif menjadi faktor penting bagi Gen Z. Ryan Jenkins menyebutkan bahwa Gen-Z ingin pemimpin yang mendengar, memberikan arahan jelas, dan mendukung perkembangan individu. Menurut House dalam Robbins (2006), kepemimpinan suportif adalah gaya kepemimpinan di mana seorang pemimpin bersedia menjelaskan berbagai permasalahan kepada bawahannya, mudah didekati, dan mampu membuat karyawan merasa dihargai serta nyaman. Sementara itu, Winardi (2000) menjelaskan bahwa kepemimpinan suportif menciptakan lingkungan kerja yang mendorong setiap anggota tim untuk bekerja sebaik mungkin, berkolaborasi dengan orang lain, serta mengembangkan kemampuan dan motivasi dirinya. Dengan kata lain, pemimpin suportif berperan sebagai pendamping yang memberi arahan sekaligus dukungan agar timnya dapat tumbuh dan berprestasi. Generasi Z (Gen-Z) memasuki dunia kerja dengan nilai dan ekspektasi yang berbeda dari generasi sebelumnya, mereka menekankan pentingnya fleksibilitas, komunikasi terbuka, lingkungan kerja yang inklusif, penggunaan teknologi modern, kompensasi yang adil, serta keseimbangan antara kehidupan dan pekerjaan. Mereka juga menuntut transparansi organisasi, kesempatan belajar yang berkelanjutan, dan kepemimpinan yang suportif. Oleh karena itu, organisasi perlu menyesuaikan strategi manajemen sumber daya manusia dengan karakter dan kebutuhan generasi ini agar mampu menarik, mengembangkan, dan mempertahankan talenta muda yang berpotensi, sekaligus menciptakan budaya kerja yang adaptif, sehat, dan berkelanjutan di era digital.


Tags :